Mahasiswa di Usia 80 Tahun Kemerdekaan NKRI: Menjawab Panggilan Zaman

PenaHarian.com
16 Agu 2025 18:23
OPINI 0
2 menit membaca

Oleh:
Deni Syaputra
Akademisi, Praktisi Hukum & Pemerhati Sosial

Delapan puluh tahun yang lalu, bangsa ini berdiri dari puing-puing penjajahan dengan tekad yang dibakar oleh darah, air mata, dan doa. Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan sekadar pembacaan naskah, tetapi lonceng kebangkitan sebuah bangsa yang bersumpah tidak akan pernah tunduk lagi. Kini, pada usia yang ke-80, pertanyaannya bukan lagi “Apakah kita merdeka?” tetapi “Apakah kita benar-benar menghidupi kemerdekaan itu?”

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang bergerak cepat, Indonesia berdiri di persimpangan. Kita punya bonus demografi yang bisa menjadi emas, tetapi juga bisa menjadi bom waktu. Kita memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun terancam terkuras jika tak diolah dengan bijak. Kita terhubung dengan dunia lewat teknologi, tetapi juga rentan terperangkap dalam arus informasi yang menyesatkan. Dan di titik ini, mahasiswa—ya, mahasiswa—harus menentukan sikap, apakah menjadi penonton di pinggir sejarah, atau menjadi aktor yang menulis bab baru perjalanan bangsa.

Sejarah tidak pernah bohong, bahkan setiap babak perubahan besar negeri ini selalu ada jejak kaki mahasiswa. Sumpah Pemuda 1928, gerakan 1966, reformasi 1998, semua lahir dari ruang-ruang diskusi, mimbar bebas, dan keberanian melawan arus. Namun tantangan hari ini tidak datang dengan seragam tentara atau deru tank. Ia datang dalam wujud yang lebih licik, yakni korupsi yang merajalela, demokrasi yang terkadang terjual murah, lingkungan yang kian sesak napas, dan hegemoni global yang membungkus dirinya dengan istilah kerja sama internasional.

Maka, peran mahasiswa hari ini tidak cukup hanya berorasi di jalan. Mahasiswa harus menjadi benteng terakhir akal sehat bangsa, menguasai ilmu, mengkritisi kebijakan, dan menolak tunduk pada arus pragmatisme. Literasi kritis bukan pilihan, melainkan kewajiban. Kolaborasi lintas disiplin bukan sekadar gagasan manis, melainkan senjata untuk bersaing di panggung dunia. Dan idealisme? Ia adalah nyala yang tak boleh padam, meski godaan dunia datang dengan gemerlap yang membutakan.

HUT RI ke-80 adalah panggilan. Panggilan untuk keluar dari zona nyaman, meninggalkan sikap apatis, dan menatap masa depan dengan keberanian yang sama seperti para pendiri bangsa. Sebab, kemerdekaan bukanlah hadiah yang bisa diwariskan begitu saja. Ia adalah amanah yang harus dibayar dengan kerja keras, integritas, dan keberanian mengambil risiko.

Mahasiswa, ingatlah bahwa sejarah selalu mencari para pemberani. Pertanyaannya, ketika generasi mendatang menulis kisah Indonesia, apakah nama kita akan tercatat sebagai pengubah zaman, atau sekadar penikmat hasil jerih payah orang lain?
Dirgahayu Republik Indonesia ke-80.
Merdeka ! Jangan Hanya di Bibir, Tapi Juga di Tindakan.

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.