Mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno bersama Prof. Abdul Latif Kaprodi Doktor Ilmu Hukum Universitas Jayabaya saat diaglog terbuka di Ruang Seminar Universitas Jayabaya, Jakarta Timur.
JAKARTA, — Dalam momentum memperingati Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Kaprodi Doktor Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, Prof. Dr. H. Abdul Latif, SH., M.Hum, tampil sebagai salah satu narasumber utama dalam Dialog Terbuka Nasional bertajuk “Kembali ke UUD 1945 dalam Rangka Memperingati Dekrit Presiden 5 Juli 1959”. Acara bergengsi ini diselenggarakan oleh Presidium Konstitusi 1945 Kembali ke Pancasila dan UUD 1945 yang diketuai oleh Wakil Presiden RI ke-6, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, di Ruang Seminar Universitas Jayabaya, Jakarta Timur.
Prof. Abdul Latif dalam paparannya menekankan kembali pentingnya memahami konteks historis, hukum, dan kenegaraan dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai upaya menyelamatkan Indonesia dari krisis multidimensi pada masa itu. Ia menjelaskan secara rinci bahwa dekrit tersebut lahir akibat kegagalan Konstituante menyusun UUD baru, ketidakstabilan demokrasi liberal, meningkatnya pemberontakan daerah, hingga memburuknya kondisi ekonomi dan politik nasional.
“Dekrit 5 Juli 1959 adalah fondasi konstitusional yang secara hukum belum pernah dicabut hingga hari ini. Ia masih memiliki kekuatan hukum dan menjadi acuan kuat untuk kembali menata kehidupan berbangsa dan bernegara secara orisinal,” tegas Prof. Abdul Latif pada dialog dilaksanakan di Ruang Seminar Prof. Dr. Hj. Yuyun Moeslim Taher, S.H. Universitas Jayabaya, Jakarta. (15/7/2025).
Lebih lanjut, Prof. Latif menyampaikan bahwa dekrit tersebut bukan hanya keputusan politik darurat, melainkan manifestasi kehendak kolektif untuk kembali ke akar ideologis bangsa—yakni Pancasila dan UUD 1945.
Tak hanya membedah sejarah dekrit, Prof. Abdul Latif juga mengupas konsep revitalisasi MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia memaparkan bahwa penguatan peran MPR sangat diperlukan untuk mengembalikan fungsi pengawasan, konsensus ideologis, dan arah pembangunan nasional yang sesuai dengan amanat konstitusi.
“Revitalisasi lembaga negara seperti MPR bukan semata pembentukan ulang, tetapi pemulihan fungsi, efektivitas, dan akuntabilitasnya. Ini menyangkut kredibilitas konstitusional negara dalam menjawab tantangan zaman yang kian kompleks,” ujar beliau.
Simposium yang berlangsung hangat ini juga menghadirkan tokoh-tokoh nasional lainnya seperti mantan KSAD Jenderal (Purn) Agustadi Sasongko Purnomo, mantan Menteri Kehutanan Dr. MS Ka’ban, pakar politik UI Dr. Mulyadi, dan ekonom-politik Dr. Ichsanuddin Noorsy, yang juga bertindak sebagai moderator.
Rektor Universitas Jayabaya, Prof. Dr. Fauzie Yusuf Hasibuan, SH., M.Hum, dalam sambutannya menyebut acara ini sebagai bentuk keberanian intelektual kampus untuk membuka ruang koreksi dan refleksi terhadap arah ketatanegaraan Indonesia.
“Jayabaya tidak boleh diam dalam melihat kebuntuan konstitusi. Dialog seperti ini adalah wujud tanggung jawab akademik terhadap bangsa,” kata Rektor Fauzie dengan penuh semangat.
Acara ini juga menjadi titik tolak gerakan intelektual untuk menyuarakan koreksi terhadap amandemen UUD 1945 yang dinilai menggeser arah ideologis dan struktur kekuasaan negara. Simposium ini dirancang untuk menjadi forum lanjutan ke berbagai kampus di seluruh Indonesia.
Sebagai bentuk apresiasi, peserta simposium menerima buku “Prahara Bangsa” karya Dr. Ichsanuddin Noorsy yang membedah berbagai dilema pasca reformasi, termasuk bab khusus berjudul “Reformasi Berbuah Prahara Bangsa”.
Simposium ini bukan hanya memperingati sejarah, tetapi membuka pintu baru bagi diskursus ketatanegaraan nasional bahwa di tengah krisis identitas ideologi dan arus globalisasi, Pancasila dan UUD 1945 tetap menjadi jangkar konstitusi dan arah masa depan Indonesia.