MAKASSAR — Di tengah meningkatnya tuntutan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Jayabaya Jakarta, Prof. Dr. Abdul Latif, S.H., M.Hum, hadir memberi pencerahan melalui karya terbarunya berjudul “Peraturan Kebijakan (Beleidsregel)”. Buku ini secara resmi dibedah dan didiskusikan dalam sebuah forum ilmiah terbuka di Swiss-Belhotel Makassar, Sabtu, 12 Juli 2025.
Acara yang berlangsung pukul 10.00–12.00 WITA ini menjadi sorotan akademisi, praktisi hukum, dan pemangku kebijakan. Turut hadir sebagai pembanding dalam diskusi ini tiga Guru Besar Hukum ternama, yakni Prof. Dr. H. A. Muin Fahmal, Prof. Dr. Andi Pangeran Moenta, dan Prof. Dr. Laode Husain, serta praktisi hukum Dr. Irwan Muin sebagai pemantik diskusi. Menambah bobot intelektual acara ini, hadir pula Hakim Agung RI, Dr. H. Ibrahim, S.H., LLM.
Dalam sambutannya, Prof. Abdul Latif menekankan bahwa peraturan kebijakan atau Beleidsregel bukanlah hal baru dalam teori hukum administrasi, namun masih sangat terbatas pemahaman dan implementasinya di Indonesia. Ia menjelaskan, UU RI No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) menjadi titik tolak penting yang memperluas ranah hukum terhadap tindakan dan kebijakan pejabat pemerintah, termasuk melalui jalur Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN).
“Melalui buku ini, kami ingin mengingatkan para pejabat agar tidak seenaknya membuat kebijakan atas nama diskresi tanpa dasar hukum yang kuat. Diskresi bukan celah untuk melanggar hukum atau merugikan rakyat,” tegas Prof. Abdul Latif.
Menurutnya, saat ini banyak peraturan kebijakan justru berdampak negatif terhadap masyarakat karena dibuat tanpa akuntabilitas yang jelas. Ia mencontohkan bagaimana selama ini diskresi yang digunakan aparat seringkali luput dari pengawasan hukum, padahal dalam konteks UUAP, semua bentuk tindakan pejabat kini bisa diuji dan dipersoalkan di hadapan hukum.
Prof. Dr. Laode Husain, salah satu pembanding, menyatakan bahwa banyak praktisi hukum pun belum memahami sepenuhnya konsep Beleidsregel. Ia menambahkan, “Kewenangan diskresi yang dimiliki pejabat negara harusnya dijalankan dengan tanggung jawab hukum yang jelas. Buku ini akan membuka pemahaman publik terhadap bahaya kebijakan yang melenceng.”
Dr. Irwan Muin, praktisi hukum dan dosen, menegaskan pentingnya buku ini bagi profesi advokat. “Para pengacara kini punya amunisi intelektual untuk menguji kebijakan pemerintah di pengadilan. Kita tidak boleh lagi membiarkan peraturan kebijakan yang menabrak hukum berlalu begitu saja,” ungkapnya.
Sementara itu, mantan Wali Kota Makassar, Dr. Ir. Ilham Sirajuddin, memberikan testimoni atas relevansi buku tersebut dengan dinamika pemerintahan. “Dalam pengalaman saya, diskresi sering menjadi jalan keluar ketika aturan tak memadai. Namun buku ini mengingatkan bahwa diskresi tetap harus tunduk pada prinsip hukum dan kepentingan rakyat,” ujar Ilham.
Ketua panitia acara, Dr. Sarifudin, menyampaikan bahwa antusiasme peserta sangat tinggi, terdiri dari akademisi, pengacara, hakim, mahasiswa, hingga pejabat dinas hukum. “Kami menargetkan hingga 100 peserta, karena isu ini sangat relevan, khususnya dalam konteks banyaknya regulasi sektoral seperti di perpajakan, yang perlu diuji apakah benar sebuah kebijakan atau bentuk penyalahgunaan kewenangan,” jelasnya.
Dengan hadirnya para pakar hukum terkemuka dan pembahasan substansial, acara bedah buku ini bukan sekadar forum akademik, tetapi menjadi panggung untuk membangun kesadaran hukum baru di kalangan pejabat publik agar tidak berlindung di balik diskresi untuk bertindak sewenang-wenang.
Buku “Peraturan Kebijakan” karya Prof. Abdul Latif menjadi pengingat penting bahwa hukum bukan sekadar alat legitimasi kekuasaan, tetapi penjaga hak rakyat dari potensi penyalahgunaan kewenangan.