Jakarta – Komunitas Pemberantas Korupsi resmi melaporkan dugaan pemborosan keuangan negara atas bantuan kouta internet Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun anggaran 2021 era Menteri Nadiem Makarim sebesar Rp1,5 Triliun kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Jumat (8/11/2024) kemarin.
Sebagaimana data yang dihimpun Komunitas Pemberantas Korupsi bahwa penyaluran bantuan kuota internet oleh Kemendikbudristek belum sepenuhnya memenuhi tujuan utamanya, dan diduga menyebabkan pemborosan uang negara.
Pengurus Komunitas Pemberantas Korupsi Darlinsah, SH menyampaikan bahwa dugaan pemborosan ini diakibatkan perencanaan yang tidak didasari analisis kebutuhan dan kajian yang memadai terhadap kebutuhan pembelajaran selama pandemi Covid-19. Proses verifikasi dan sinkronisasi data penerima bantuan antara sistem Dapodik dan PDDikti kurang cermat, sementara evaluasi manfaat program ini untuk pembelajaran juga belum dilaksanakan secara komprehensif.
Pelaksanaan bantuan kuota data internet ini diatur dalam Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 4 Tahun 2021 dan Nomor 23 Tahun 2021, di mana bantuan kuota internet diberikan selama tujuh bulan, yaitu dari Maret hingga Mei, serta September hingga Desember 2021, dalam beberapa tahap penyaluran. Program ini melibatkan lima operator seluler, yakni PT Telkomsel Tbk., PT XL Axiata Tbk., PT Indosat Tbk., PT Hutchison 3 Indonesia, dan PT Smartfren Telecom Tbk.
Tercatat sebanyak 31.100.463 nomor ponsel milik peserta didik dan pendidik tidak lolos verifikasi untuk menerima bantuan, sedangkan 1.430.731 nomor ponsel gagal diinjeksi bantuan kuota data internet. Selain itu, skema pemberian kuota internet belum sepenuhnya mendukung kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Kemudian ada dugaan ketidaktepatan dalam verifikasi jumlah penerima dan mekanisme pembayaran bantuan. Sebanyak 101.724 peserta didik atau pendidik teridentifikasi sebagai penerima ganda, dengan total bantuan sebesar lebih dari Rp7,7 miliar. Ada pula 83.714 nomor ponsel yang tercatat menggunakan kuota lebih dari tiga kali, dengan nilai mencapai sekitar Rp996 juta.
Tak hanya itu, terdapat kuota data sebesar 675.590.548 GB senilai Rp1,5 triliun yang tidak terpakai dan hangus karena masa berlaku habis.
Permasalahan tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 yang telah diubah menjadi PP Nomor 66 Tahun 2010 mengenai pengelolaan anggaran pendidikan. Pasal 6 ayat (4) menyebutkan bahwa anggaran pendidikan seharusnya dialokasikan secara efektif, efisien, dan akuntabel.
Program ini juga bertentangan dengan peraturan teknis penyaluran bantuan yang diatur dalam Peraturan Sesjen Kemendikbud Nomor 23 Tahun 2021.
“Ini tantangan bagi KPK. Bila laporan ini tidak ditindaklanjuti, kami dari Komunitas Pemberantas Korupsi akan gugat KPK ke Pengadilan karena tidak menjalankan tugas dan kewajibannya”, tukas Darlinsah.