Jakarta — Kejaksaan Agung Republik Indonesia kembali menunjukkan taringnya dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Pada Kamis (4/9/2025), Kejagung resmi menetapkan Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi periode 2019–2024, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook untuk program digitalisasi pendidikan.
Direktur Penyidikan Jampidsus, Nurcahyo Jungkung Madyo, mengungkapkan bahwa Nadiem diduga memiliki peran sentral dalam meloloskan pengadaan Chromebook dari Google Indonesia untuk wilayah 3T. Kerugian negara dari kasus ini diperkirakan mencapai Rp1,98 triliun, dan saat ini masih dalam tahap finalisasi penghitungan oleh BPKP.
“Penetapan tersangka terhadap mantan Mendikbudristek ini merupakan bagian dari komitmen Kejaksaan Agung dalam menuntaskan perkara besar yang merugikan keuangan negara,” ujar Nurcahyo.
Penetapan ini menambah daftar panjang tersangka dalam perkara pengadaan Chromebook periode 2019–2022, sekaligus menegaskan keseriusan Kejagung menuntaskan dugaan korupsi berskala besar di sektor pendidikan.
KPK Dinilai Lamban Tangani Kasus Kuota Internet Rp1,5 Triliun
Kontras dengan langkah cepat Kejagung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru menuai sorotan tajam karena dinilai lamban, tidak bernyali, dan tidak berani menuntaskan kasus serupa yang juga menyeret program Kementerian Pendidikan di era Nadiem Makarim.
Kasus yang dimaksud adalah program bantuan kuota internet tahun 2021, dengan dugaan kerugian negara mencapai Rp1,5 triliun hanya dalam satu tahun anggaran. Laporan resmi atas dugaan penyimpangan tersebut telah diajukan masyarakat Darlinsah, S.H., LL.M melalui Komunitas Pemberantas Korupsi sejak November 2024, lengkap dengan lampiran Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK.
Namun, KPK melalui surat resmi Nomor: R/5937/PM.00.00/30-35/12/2024 justru menyatakan laporan tersebut tidak memenuhi syarat. Padahal, menurut ahli hukum, LHP BPK secara yuridis merupakan bukti awal yang sah dan cukup untuk dijadikan dasar penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi.
Alumni Asean University Internasional Malaysia sekaligus pelapor, Darlinsah, S.H., LL.M., mengecam keras sikap KPK yang dinilai justru membebankan pembuktian awal kepada pelapor. “KPK semestinya melakukan penyelidikan, bukan mengembalikan laporan dengan alasan administratif. Ini menunjukkan ketidakseriusan dalam pemberantasan korupsi,” tegas Darlinsah.
Mantan Hakim Ad Hoc Tipikor MA, Prof. Dr. Abdul Latif, S.H., M.Hum., menambahkan, “Tidak ada alasan hukum bagi KPK menyatakan laporan tidak memenuhi syarat jika sudah dilampiri LHP BPK. Temuan BPK pada hakikatnya adalah indikasi adanya pelanggaran hukum yang menimbulkan kerugian negara. Itu wajib ditindaklanjuti, bukan diabaikan.”
Publik Nilai KPK Kehilangan Tajinya
Perbedaan sikap dua lembaga penegak hukum ini memunculkan kritik keras dari masyarakat sipil. Kejagung dinilai progresif dan berani menindak perkara besar, sementara KPK tampak kehilangan taji dan kepercayaan publik lantaran tidak kunjung serius mengusut laporan yang sudah masuk hampir setahun.
“Kalau kerugian Rp1,5 triliun dalam setahun saja tidak ditindaklanjuti, bagaimana dengan potensi kerugian lebih besar pada tahun-tahun sebelumnya dan sesudahnya? Ini sangat merugikan negara,” ujar Darlinsah.
Komunitas Pemberantas Korupsi menegaskan akan membawa persoalan ini ke Komisi III DPR RI melalui Rapat Dengar Pendapat, bahkan siap menempuh gugatan hukum terhadap KPK bila kelambanan ini terus berlanjut.
Hingga berita ini diturunkan, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, yang dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, belum memberikan respons.