JAKARTA, – Komunitas Pemberantas Korupsi (KPK) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI untuk segera melakukan penyelidikan dugaan penyalahgunaan dana earmark di Provinsi Riau senilai lebih dari Rp404 miliar. Desakan ini muncul setelah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan adanya selisih signifikan antara sisa dana yang seharusnya ada dengan saldo kas daerah per 31 Desember 2023.
Dalam laporannya, LSM Komunitas Pemberantas Korupsi mengungkapkan bahwa dari total sisa dana earmark sebesar Rp438.154.001.516, saldo Kas Daerah Riau per akhir tahun 2023 hanya tersisa Rp33.776.157.086. Ini menyisakan selisih mencurigakan sebesar Rp404.377.844.429 digunakan tidak sesuai peruntukannya.
Menurut laporan tersebut, dana earmark adalah alokasi khusus dari penerimaan pajak yang peruntukannya sudah ditentukan, seperti untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
“Penggunaan dana di luar ketentuan ini jelas melanggar sejumlah peraturan, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 212/PMK.07/2022”, kata pengurus Komunitas Pemberantas Korupsi Darlinsah, SH, LL.M di Jakarta Selasa (2/9/2025).
Prof. Dr. Abdul Latif, seorang mantan Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi Mahkamah Agung, menegaskan bahwa temuan BPK merupakan petunjuk awal yang sah secara hukum.
“LHP BPK merupakan temuan adanya dugaan perbuatan melawan hukum. Secara hukum tidak mungkin adanya temuan kerugian negara tanpa adanya pelanggaran hukum,” ujar Prof. Abdul Latif.
Ia juga menambahkan bahwa KPK memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti setiap laporan yang didukung oleh data dan audit resmi lembaga negara. “KPK wajib menindaklanjuti. Membuktikan adalah fungsi penyelidik dan penyidik,” tegasnya.
LSM Komunitas Pemberantas Korupsi berharap KPK segera melakukan penyelidikan menyeluruh untuk mengusut tuntas dugaan penyimpangan dana rakyat tersebut. Publik menuntut transparansi dan penegakan hukum yang tegas terhadap dugaan korupsi.