Pekanbaru, – Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada RSUD Arifin Achmad tahun anggaran 2022 ditemukan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) yang digunakan belum sepenuhnya memadai.
RSUD Arifin Achmad (AA) telah memiliki SIMRS dengan skema kerjasama dengan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Riau untuk pengembangan SIMRS versi terbaru sehingga terdapat aplikasi baru dengan memiliki fitur Electronic Medical Record (EMR).
Hasil pemeriksaan secara uji petik atas implementasi aplikasi SIMRS dan aplikasi
EMR yang meliputi pelayanan pasien di RSUD AA dan RSUD Petala Bumi diketahui terdapat permasalahan dengan uraian sebagai berikut.
Penggunaan aplikasi EMR sebagai pengganti aplikasi SIMRS di RSUD AA belum didukung dengan tahapan migrasi database
RSUD AA menggunakan dua aplikasi dalam melakukan pelayanan dan administrasi pasien yaitu aplikasi SIMRS dan aplikasi EMR. SIMRS telah digunakan sejak tahun 2013 sedangkan pada bulan September 2022 SIMRS dikembangkan menjadi EMR bekerjasama dengan UIN Suska Riau.
1. Saat ini aplikasi SIMRS dan EMR digunakan secara bersamaan/paralel mulai dari fitur pelayanan hingga fitur pembayaran, namun tahapan migrasi database tidak dilakukan sebelum metode implementasi secara paralel dilakukan. Hal ini berdampak pada timbulnya pekerjaan ganda atau pekerjaan tambahan pada petugas Rumah Sakit mulai dari pelayanan pendaftaran sampai dengan pelayanan pembayaran yakni:
a) Petugas pendaftaran harus melakukan perekaman ulang atas pendaftaran pasien lama pada aplikasi EMR, meskipun data pasien tersebut telah terekam pada aplikasi SIMRS.
b) Kasir harus mengecek terlebih dahulu kedua aplikasi tersebut dalam melakukan proses pembayaran pasien.
2) Aplikasi EMR belum terintegrasi dengan aplikasi Indonesia Case Base Group’s
(INA-CBG’s). Hal ini menimbulkan beban kerja tambahan bagi pegawai RSUD AA untuk melakukan coding paket pelayanan sebagaimana diatur dalam INACBG’s secara manual yakni:
a) Petugas merekapitulasi rekam medis baik melalui aplikasi EMR maupun
rekam medis manual.
b) Petugas melakukan coding atas tindakan dan diagnosa pasien berdasarkan
klasifikasi paket INA-CBG’s.
c) Petugas merekam hasil coding ke dalam aplikasi INA-CBG’s.
INA-CBG’s merupakan aplikasi milik BPJS Kesehatan yang digunakan sebagai aplikasi pengajuan klaim di Rumah Sakit, Puskesmas dan semua Penyedia Pelayanan Kesehatan. Dalam aplikasi INA-CBG’s terdapat code jenis paket yang selanjutnya dilakukan coding untuk
mengelompokan tindakan dan diagnosa dokter menjadi paket klaim BPJS Kesehatan.
Dengan belum terintegrasinya aplikasi EMR dengan INA-CBG’s, RSUD AA masih mengalami permasalahan sebagai berikut.
a) Terdapat klaim BPJS Kesehatan yang diajukan oleh RSUD AA lebih rendah
dibandingkan pelayanan yang diberikan (undercoding).
b) Pengajuan ulang klaim atas pasien BPJS Kesehatan dengan status pending dan dispute mengalami keterlambatan, yakni:
(1) Pengajuan klaim ulang atas pasien BPJS Kesehatan dengan status verifikasi pending dan susulan tidak segera dilakukan sebesar Rp20.989.465.098,00.
(2) Pengajuan klaim ulang per 31 Desember 2022 atas pasien BPJS Kesehatan dengan status verifikasi pending dan dispute belum dilakukan sebesar Rp11.538.316.458,00.
3) Modul Rekam Medis pada aplikasi EMR belum digunakan oleh seluruh dokter sehingga menyulitkan petugas Casemix untuk melakukan coding paket pelayanan sebagaimana diatur dalam INA-CBG’s dalam rangka pengajuan klaim BPJS Kesehatan atau mengakibatkan klaim lebih rendah dari yang seharusnya (undercoding).
Hal ini terjadi antara lain pada pembayaran tes Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk Mahasiswa STIKES Hangtuah sebesar Rp13.800.000,00 pada bulan Januari 2022 dan pembayaran tes PCR untuk jamaah haji sebesar Rp246.270.000,00 pada bulan Oktober 2022.
4) Aplikasi EMR telah memiliki modul pencatatan aset namun belum digunakan.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2018 tentang Badan Layanan Umum Daerah, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2013 tentang Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, dan Peraturan Gubernur Nomor 60 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah.
Hal tersebut mengakibatkan: kegiatan pelayanan dan administratif pada RSUD AA belum sepenuhnya efisien dan efektif, dan risiko kurang penerimaan pendapatan atas klaim BPJS Kesehatan pada RSUD AA.
BPK menyimpulkan permasalahan tersebut disebabkan Direktur RSUD AA belum sepenuhnya optimal dalam mengarahkan, membina, mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi penyelenggaraan kegiatan BLUD Rumah Sakit.
(Dayat)