Jakarta, – Ombudsman Republik Indonesia (RI) telah mengirim surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dengan saran untuk menunda batas penyerahan kelengkapan syarat perizinan bagi pengusaha sawit yang menggunakan lahan di kawasan hutan. Menurut Ombudsman, kebijakan ini berpotensi mengalami maladministrasi mengingat masih banyaknya permasalahan terkait status kawasan hutan.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyarankan agar Menteri LHK mengeluarkan kebijakan penundaan batas tersebut dengan sejumlah pertimbangan. Dia menyatakan, “Ombudsman menyarankan Menteri LHK untuk menunda batas penyerahan kelengkapan syarat ini dengan mempertimbangkan penatagunaan kawasan hutan yang menjadi tanggung jawab Kementerian LHK, sekaligus memberikan kepastian hak atas tanah badan usaha/masyarakat.”
Yeka Hendra Fatika juga menekankan perlunya dukungan bagi usaha sawit dari ranah domestik maupun internasional. “Beberapa tahun terakhir, usaha sawit mengalami tekanan akibat dampak Pandemi Covid-19, kebijakan subsidi, dan kebijakan ekspor. Oleh karena itu, perlunya tata kelola hak atas tanah untuk memberikan kepastian hukum dan menjamin keberlanjutan usaha sawit,” ujarnya.
Ombudsman RI juga menyoroti kemungkinan sanksi denda yang diberlakukan, dengan mengusulkan agar dilaksanakan dengan mekanisme yang meringankan untuk melindungi pelaku usaha sawit dari kebangkrutan. Hal ini dianggap penting mengingat kontribusi besar usaha sawit terhadap perekonomian nasional dan lapangan kerja yang dihasilkannya.
Dalam pandangan Ombudsman, pengaturan persyaratan perizinan usaha perkebunan kelapa sawit harus dilakukan setelah penetapan status kawasan hutan. Yeka juga menekankan perlunya menghormati hak masyarakat dalam penatagunaan kawasan hutan, dengan memperhatikan produk administratif terkait hak atas tanah yang diterbitkan oleh Kementerian ATR/BPN dan Pemerintah Daerah.
Sementara itu, Yeka menggarisbawahi kesulitan yang dihadapi oleh Petani Sawit Swadaya yang hanya memiliki lahan kurang dari 10 hektare dalam memenuhi persyaratan administratif pengurusan legalitas usaha berdasarkan UU Cipta Kerja. Hal ini menjadi perhatian serius yang perlu diakomodasi oleh pemerintah.
Ombudsman RI mempertanyakan tanggal batas akhir yang digunakan, menyebutkan perlunya mengikuti pemberlakuan UU Nomor 6 Tahun 2023 yang mengubah beberapa aspek UU Cipta Kerja. Menurut Yeka, penatagunaan kawasan hutan harus menghormati hak masyarakat dan kepentingan nasional serta tetap memperhatikan regulasi yang ada.