JAKARTA – Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2023 terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya temuan serius terkait pengamanan aset rampasan. Sebuah apartemen senilai lebih dari Rp38 miliar di Singapura, yang merupakan barang rampasan dari kasus terpidana EmS, dilaporkan belum diurus secara optimal.
Apartemen yang terletak di Marine Parade Road, Silversea, Singapura, ini seharusnya sudah dieksekusi sejak putusan Mahkamah Agung (MA) pada 2021. Namun, menurut temuan BPK, Direktorat Laboratorium Keuangan (Labuksi) KPK tidak memiliki foto atau dokumen pendukung yang menunjukkan kondisi dan status dari aset tersebut.
Hal ini mengindikasikan adanya kelalaian dalam pengamanan aset negara.
Selain itu, Jaksa Eksekusi (JE) KPK, sebagaimana diwawancarai oleh BPK, menyebutkan bahwa eksekusi aset terhambat karena proses pengurusan Mutual Legal Assistance (MLA) yang masih berjalan. Proses ini seharusnya dipantau oleh Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja AntarKomisi dan Instansi (PJKAKI).
Yang lebih mengejutkan, KPK baru menanggapi surat permohonan klarifikasi dari Attorney General Chambers (AGC) Singapura, yang merupakan otoritas terkait, setelah 11 bulan. Surat dari AGC Singapura tertanggal 26 Mei 2023, baru ditindaklanjuti oleh KPK antara Mei 2023 hingga April 2024.
Laporan BPK juga menyoroti kurangnya koordinasi internal di KPK. Meskipun PJKAKI dapat memfasilitasi pemeriksaan fisik apartemen, namun hingga selesai pemeriksaan BPK belum ada surat permohonan dari Direktorat Labuksi.
Kondisi ini memperlihatkan adanya kelemahan dalam prosedur internal KPK, yang berpotensi menyebabkan aset negara rentan terhadap kerusakan atau penyusutan nilai.
Terkait temuan ini, Juru Bicara KPK RI, Budi Prasetyo, yang dikonfirmasi oleh PenaHarian.com pada Selasa, 2 September 2025, melalui pesan WhatsApp, belum memberikan respons hingga berita ini diterbitkan.