Jakarta, – Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI tahun anggaran 2021 menemukan permasalahan serius terkait Piutang Pajak Macet belum dilakukan tindakan penagihan yang memadai sehingga negara berpotensi kehilangan penerimaan pajak minimal sebesar Rp20,8 triliun.
Hal tersebut disebabkan oleh Petugas Penagihan Pajak pada KPP terkait tidak optimal dalam melakukan tindakan penagihan dengan tidak menyampaikan Surat Paksa dan melakukan penyitaan, pengawasan berjenjang yang dilaksanakan oleh Kepala Seksi Penagihan, Kepala KPP, Kepala Kanwil terkait serta Direktur Pemeriksaan dan Penagihan tidak optimal.
Kemudian Direktur Teknologi Informasi Komunikasi belum mengembangkan pengendalian secara sistem pada SIDJP yang secara otomatis memberikan notifikasi atas ketetapan pajak yang menjadi prioritas penagihan khususnya yang akan daluwarsa penagihan, dan belum mengintegrasikan Sistem penagihan piutang PBB dengan SIDJP.
Dalam LHP BPK bahwa berdasarkan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) Kementerian Keuangan tahun anggaran 2021 serta Kertas Kerja Penggolongan Kualitas Piutang dan Penghitungan Penyisihan Piutang Pajak diketahui terdapat ketetapan pajak dengan kualitas Macet sebesar Rp24,7 triliun.
Hasil pengujian atas ketetapan pajak dengan kualitas Macet terebut dengan nilai lebih dari Rp100.000.000,00 sebesar Rp20.848.672.190.679,90 menunjukkan belum dilakukan tindakan penagihan yang memadai dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Terdapat 1.713 ketetapan pajak sebesar Rp2.181.276.689.991,22 yang sama sekali belum dilakukan tindakan penagihan.
2. Terdapat 4.905 ketetapan pajak sebesar Rp3.679.878.572.992,49 yang telah dilakukan tindakan penagihan dengan penerbitan Surat Teguran namun belum disampaikan Surat Paksa.
3. Terdapat 13.547 ketetapan pajak sebesar Rp14.069.008.328.874,20 yang telah dilakukan tindakan penagihan aktif dengan penerbitan Surat Paksa namun belum dilakukan tindakan penyitaan.
4. Terdapat 934 ketetapan pajak sebesar Rp918.508.598.822,00 yang telah dilakukan tindakan penagihan aktif berupa penerbitan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) namun pelunasan piutang belum optimal.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.t.d.
UU Nomor 16 Tahun 2009, UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa s.t.t.d. Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2000, dan PMK Nomor 189 /PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar.
BPK menyimpulkan permasalahan tersebut mengakibatkan potensi kehilangan penerimaan pajak minimal sebesar Rp20,8 triliun apabila DJP tidak segera melakukan tindakan penagihan aktif lebih lanjut dan piutang pajak menjadi daluwarsa penagihan.
BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan agar menginstruksikan Dirjen Pajak memerintahkan Kepala KPP untuk melakukan inventarisasi atas piutang macet yang belum daluwarsa penagihan sampai dengan Juni 2022 dan melakukan tindakan penagihan aktif sesuai ketentuan.
Seterusnya memberikan pembinaan sesuai ketentuan kepada pejabat dan petugas terkait yang tidak optimal dalam melakukan tindakan penagihan piutang sehingga menjadi daluwarsa, dan memerintahkan Direktur Teknologi Informasi Komunikasi untuk mengembangkan SIDJP terkait optimalisasi penagihan piutang dan mengintegrasikan Sistem penagihan piutang PBB dengan SIDJP.
Sekaitan rekomendasi BPK dimaksud, media Deliknews.com jaringan PenaHarian.com pada 27 September 2023 lalu telah mengirimkan surat konfirmasi kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani, namun belum merespon hingga berita ini diterbitkan.