TA Gubernur Riau Ungkap Kejanggalan OTT, Aktivis Anti Korupsi Desak KPK Klarifikasi: Jangan Biarkan Gaduh

PenaHarian.com
9 Nov 2025 19:13
4 menit membaca

Jakarta, – Pasca dibebaskannya Tenaga Ahli Gubernur Riau, Tata Maulana, dari rangkaian Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2–4 November 2025, muncul sejumlah keterangan yang memunculkan tanda tanya serius terhadap dasar penetapan tersangka Gubernur Riau, Abdul Wahid.

Sebagaimana dimuat banyak media massa bahwa Tata Maulana menceritakan secara detail proses penangkapan hingga pemeriksaan dirinya, yang dinilainya sarat kejanggalan dan perlu diuji secara objektif.

Tata Maulana menyampaikan, pada hari terjadinya OTT, dirinya sedang mendampingi Gubernur Riau Abdul Wahid yang menerima tamu pejabat publik lainnya. Ia mengaku baru mengetahui adanya OTT di Dinas PUPR-PKPP setelah menerima informasi dari pengawal dan staf terkait penyitaan telepon seluler petugas Satpol dan pencarian namanya oleh penyidik.

Tata menuturkan bahwa setelah Gubernur menyelesaikan pertemuan dengan tamu-tamunya, rombongan bergerak menuju salah satu kafe di Jalan Paus Pekanbaru. Di lokasi tersebut, sekitar pukul 17.00 WIB, tiba-tiba rombongan KPK datang dan langsung menyita telepon genggam Gubernur, memintanya membuka kunci, dan diduga menyalin data digital saat itu juga.

Tata menyebut dirinya mempertanyakan dasar tindakan tersebut karena Gubernur tidak sedang melakukan transaksi, tidak berada di kantor dinas yang diperiksa, dan tidak ada uang ditemukan di lokasi penangkapan.

Lebih lanjut, Tata menuturkan, usai dibawa ke Mako Brimob dan menjalani pemeriksaan, ia baru mengetahui adanya pengakuan sepihak beberapa pejabat Dinas PUPR yang menyatakan bahwa uang yang disita akan diberikan kepada Gubernur, serta adanya klaim bahwa mereka mendapat tekanan atau batasan dalam hubungan struktural.

Tata menilai pengakuan tersebut tidak pernah ditunjang bukti petunjuk berupa rekaman, dokumen perintah, percakapan elektronik, atau bukti transaksi yang dapat diverifikasi.

Tata juga mengungkapkan kegelisahannya melihat pemberitaan media yang secara masif memuat berita OTT Gubernur Riau secara serentak begitu penangkapan dilakukan. Menurutnya, pola tersebut menimbulkan dugaan bahwa narasi telah terbentuk terlebih dahulu sebelum proses hukum berlangsung secara utuh.

Tata menyampaikan bahwa dirinya ditetapkan sebagai target pemeriksaan padahal tidak pernah berhubungan dengan Dinas PUPR. Ia menegaskan seluruh pertanyaan terkait keterlibatan dirinya, dugaan permintaan 5 persen, atau pengetahuan penyerahan uang, dibantah secara konsisten karena menurutnya hal tersebut tidak pernah terjadi.

Tata kemudian berharap agar proses hukum yang terjadi dapat diuji secara terbuka, karena ia meyakini bahwa kebenaran materiil harus menjadi landasan penyelenggaraan keadilan. Ia juga menegaskan bahwa pemberitaan yang menyebut ia menyerahkan diri ke KPK adalah keliru, karena dirinya hanya tertunda keberangkatan setelah proses pemeriksaan di Mako Brimob.

Sementara itu, menanggapi pernyataan dan kronologi tersebut, Pengurus Komunitas Pemberantas Korupsi, Darlinsah, S.H., LL.M., menilai bahwa KPK perlu segera memberikan klarifikasi resmi mengenai dasar penetapan tersangka terhadap Gubernur Abdul Wahid. Menurutnya, tuduhan tindak pidana korupsi tidak dapat didasarkan hanya pada satu jenis alat bukti, apalagi jika hanya berupa pengakuan sepihak. “Kita mendukung KPK. Namun bila ada kejanggalan yang bikin gaduh masyarakat. Maka sudah menjadi kewajiban bagi penegak hukum untuk memberikan klarifikasi”,.

Darlinsah menegaskan bahwa dalam hukum acara pidana, penetapan tersangka harus merujuk pada minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Apabila unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi, maka tindakan penetapan tersangka berpotensi cacat prosedur atau melampaui prinsip due process of law.

Darlinsah menyampaikan bahwa KPK RI harus menjelaskan secara terang benderang dasar pembuktian materil yang digunakan dalam penetapan tersangka, agar tidak menimbulkan spekulasi publik yang mengarah pada dugaan kriminalisasi jabatan atau kepentingan politik tertentu.

“Kami mendesak KPK RI untuk segera membuka penjelasan resmi atas dasar hukum penetapan tersangka Gubernur Abdul Wahid, demi menjaga marwah penegakan hukum. Transparansi ini mutlak diperlukan agar tidak timbul prasangka bahwa proses ini didorong oleh kepentingan di luar hukum,” tegas Darlinsah.

Ia menambahkan bahwa pembiaran ruang spekulasi dapat memicu kegaduhan publik, ketidakpercayaan terhadap lembaga penegak hukum, hingga potensi instabilitas politik daerah. Oleh sebab itu, tindakan klarifikasi bukan hanya respons hukum, tetapi juga langkah merawat kepercayaan publik terhadap sistem pemberantasan korupsi di Indonesia.

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
x