Jakarta, — Dua tokoh nasional, mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, resmi menghirup udara bebas setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi dan amnesti terhadap keduanya.
Keputusan ini menjadi sorotan publik karena berkaitan langsung dengan prinsip-prinsip hukum pidana dan konstitusionalitas kewenangan Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Hasto Kristiyanto sebelumnya dijerat dalam kasus suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019–2024 untuk tersangka buron Harun Masiku.
Sementara Tom Lembong disebut-sebut tersangkut dalam perkara yang berkaitan dengan dugaan korupsi kebijakan perdagangan di masa lalu. Kini, keduanya dinyatakan tidak lagi terikat proses hukum, menyusul keputusan Presiden yang didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan dan rekonsiliasi nasional.
Menanggapi kebijakan Presiden Prabowo tersebut, Guru Besar Hukum Tata Negara Prof. Abdul Latif memberikan penjelasan komprehensif terkait makna abolisi dan amnesti dalam perspektif hukum pidana.
Menurut Prof. Latif, abolisi dan amnesti presiden merupakan dua konsep yang berbeda dalam sistem hukum pidana, meskipun keduanya memiliki konsekuensi hukum yang sangat besar terhadap status hukum seseorang.
Abolisi adalah penghentian proses hukum terhadap seseorang atau sekelompok orang yang sedang atau akan diadili. Dalam sistem civil law, abolisi biasanya dilakukan melalui keputusan presiden atau otoritas tinggi lainnya, dan dapat dilakukan sebelum atau selama proses pengadilan berlangsung.
Sedangkan dalam sistem common law, abolisi dapat dilakukan melalui kekuasaan prerogatif yang dimiliki oleh kepala negara atau pemerintah. Namun, penerapannya lebih terbatas dan sering kali memerlukan justifikasi yang kuat.
Sementara itu, amnesti adalah bentuk pengampunan yang diberikan kepada seseorang atau kelompok yang telah melakukan tindak pidana, sehingga mereka tidak lagi bertanggung jawab secara hukum atas tindakan tersebut.
Dalam sistem civil law, amnesti seringkali diatur dalam konstitusi atau undang-undang dan dapat diberikan oleh presiden atau melalui keputusan parlemen. Dalam sistem common law, amnesti dapat pula diberikan melalui kekuasaan prerogatif yang dimiliki oleh kepala negara atau pemerintah, dan pelaksanaannya dapat bervariasi tergantung yurisdiksi yang berlaku.
Lebih lanjut, Prof. Abdul Latif menjelaskan bahwa perbedaan mendasar antara sistem civil law dan common law terletak pada sumber hukum dan struktur proses peradilan.
Civil law mengandalkan undang-undang dan kodifikasi hukum sebagai sumber utama, dengan proses hukum yang cenderung formal dan terstruktur. Sebaliknya, common law menitikberatkan pada preseden dan praktik yurisprudensi, dengan pendekatan hukum yang lebih fleksibel dan adaptif.
Namun demikian, Prof. Latif menegaskan bahwa dalam praktik ketatanegaraan dewasa ini, hampir tidak ada negara yang secara konsisten menerapkan satu sistem hukum secara murni.
Negara-negara hukum, baik yang menganut sistem civil law maupun common law, umumnya mengadopsi sistem hukum campuran. Hal ini merupakan respons atas tuntutan dinamika kehidupan bernegara, khususnya dalam konteks penegakan hukum yang membutuhkan adaptasi terhadap realitas sosial dan politik.
“Dalam praktik kehidupan ketatanegaraan suatu negara, pada umumnya tidak ada satu pun negara hukum yang konsisten menerapkan sistem hukumnya secara murni. Setiap negara yang menamakan dirinya sebagai negara hukum akan selalu menyesuaikan sistem hukumnya menjadi sistem campuran, sebagai bentuk kebutuhan praktik penegakan hukum,” terang Prof. Abdul Latif.
Pemberian abolisi dan amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto mencerminkan penggunaan kewenangan konstitusional dalam kerangka hukum positif Indonesia. Meskipun kebijakan ini menimbulkan berbagai interpretasi di kalangan masyarakat, secara normatif kebijakan tersebut dapat dibenarkan selama dijalankan berdasarkan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan pertimbangan kepentingan umum.