Membaca Ulang Ahmad Sahroni: Rekam Jejak Pembela Rakyat yang Tertutup Provokasi

PenaHarian.com
5 Nov 2025 11:56
OPINI 0
3 menit membaca

Oleh: Darlinsah, S.H., LL.M, Ketua Komunitas Pemberantas Korupsi Sumatera Barat

Jakarta, — Setelah mendengar langsung penjelasan panjang dari Dr. Ahmad Sahroni, Anggota DPR RI Nonaktif, dalam pertemuan pada 4 November 2025, saya merasa penting untuk menempatkan persoalan ini pada proporsi yang sebenarnya. Ucapan Sahroni yang sempat menghebohkan publik dengan istilah “orang tolol sedunia” ternyata telah keluar dari konteks yang sesungguhnya.

Pernyataan itu, sebagaimana dijelaskan oleh Sahroni dengan nada penuh penyesalan, bukan ditujukan kepada masyarakat luas, melainkan kepada pihak tertentu oknum yang pertama kali menghembuskan isu pembubaran DPR secara serampangan dan tanpa pemahaman mendalam terhadap sistem ketatanegaraan maupun fungsi representatif lembaga legislatif.

Hanya karena persoalan kesalahan informasi soal gaji dan tunjangan DPR. Ucapan tersebut kemudian dipahami keliru, dipotong, disebarluaskan tanpa konteks, dan akhirnya digoreng seolah-olah ditujukan kepada masyarakat secara keseluruhan.

Di era digital yang serba cepat ini, satu potongan kalimat bisa menjadi bahan bakar provokasi yang membakar logika dan akal sehat. Akibatnya, sebagian massa yang tidak memahami duduk persoalan ikut terseret dalam arus emosi.

Peristiwa perusakan rumah pribadi Ahmad Sahroni menjadi bukti nyata bahwa salah tafsir publik dapat berujung pada tindakan destruktif. Ia bercerita dengan mata berkaca-kaca bagaimana dirinya harus menyelamatkan diri melalui pintu belakang, bersembunyi di plafon kamar mandi, hingga berlindung di rumah tetangga.

Tragedi ini bukan sekadar kerugian materi, tetapi luka batin yang mendalam karena munculnya kebencian yang seolah melegitimasi kekerasan atas dasar kesalahpahaman.

Di titik inilah kita perlu jujur melihat rekam jejak Sahroni secara utuh. Mari kita lihat kembali bagaimana selama ini ia dikenal sebagai salah satu anggota DPR yang paling vokal membela masyarakat lemah. Ia berdiri di depan ketika masyarakat lemah diperlakukan tidak adil. Ia bersuara lantang ketika ada rakyat kecil yang dikriminalisasi.

Banyak kasus hukum terhadap rakyat dianggap kriminalisasi yang mana Ahmad Sahroni mengangkatnya ke ruang publik. Suara yang ia lontarkan selama ini bukan untuk memperkaya citra dirinya, tetapi untuk memastikan bahwa negara tidak membiarkan rakyatnya berjalan sendirian menghadapi ketidakadilan.

Sahroni, dalam wawancara itu, menyampaikan dengan jujur bahwa ia siap dikritik, bahkan dicaci maki oleh rakyat namun dengan cara yang beradab, dengan bahasa dan adat istiadat yang mencerminkan kedewasaan bangsa. Kritik adalah demokrasi, tetapi kebencian adalah racun bagi peradaban.

Dari sudut pandang saya, akar persoalan bukan semata pada ucapan Ahmad Sahroni, melainkan pada masyarakat terprovokasi oleh framing dan informasi yang tidak utuh, terutama soal gaji dan tunjangan anggota DPR yang selalu dijadikan bahan sentimen tanpa analisis objektif dan kesalahpaham informasi. Padahal, membubarkan DPR bukanlah solusi, justru akan melumpuhkan proses demokrasi dan keseimbangan kekuasaan negara.

Dalam konteks ini, pembelaan terhadap Ahmad Sahroni bukanlah pembelaan terhadap individu, melainkan pembelaan terhadap nalar sehat. Kita perlu belajar membedakan antara kritik dan provokasi emosional.

Sahroni telah meminta maaf. Ia telah menunjukkan sikap rendah hati dan tanggung jawab moral sebagai pejabat publik. Kini, giliran kita sebagai masyarakat untuk kembali berpikir jernih, menolak provokasi, dan mengedepankan dialog yang santun.

Mari kita lihat kembali rekam jejak dan kerja – kerja Ahmad Sahroni yang selalu lantang menyuarakan sejumlah kasus dugaan kriminalisasi atau ketidakadilan terhadap masyarakat.

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
x